Pasal 33 UUD 1945: Pintu Gerbang Ekonomi Indonesia Menuju Masyarakat Sejahtera Berlandaskan Sistem Ekonomi IlahiPasal 33 UUD 1945: Pintu Gerbang Ekonomi Indonesia Menuju Masyarakat Sejahtera Berlandaskan Sistem Ekonomi Ilahi

Pasal 33 UUD 1945: Pintu Gerbang Ekonomi Indonesia Menuju Masyarakat Sejahtera Berlandaskan Sistem Ekonomi Ilahi

Oleh: Prof. Dr. Nandan Limakrisna, SE., MM. (Guru Besar Universitas Persada Indonesia Y.A.I)

 

Pendahuluan: Fondasi yang Sering Terlupakan

Pasal 33 UUD 1945 merupakan salah satu warisan konstitusional terbesar bangsa Indonesia. Pasal ini bukan sekedar norma hukum, melainkan desain besar perekonomian nasional yang menempatkan rakyat sebagai pelaku utama dan negara sebagai pengelola cabang-cabang produksi strategis untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sayangnya, arah kebijakan ekonomi Indonesia sejak 1980-an hingga kini cenderung bergeser ke model liberal yang lebih mengandalkan mekanisme pasar bebas dan investasi asing. Hal ini dipicu oleh liberalisasi ekonomi global, tekanan lembaga keuangan internasional, serta kebijakan deregulasi dan privatisasi. Akibatnya, semangat Pasal 33 semakin terpinggirkan dalam praktik.

Data menunjukkan bahwa:

Ketimpangan penguasaan aset masih sangat tinggi. Data Oxfam (2017) mencatat bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49% kekayaan nasional, sementara 40% terbawah hanya menguasai 1%.

Kesenjangan pendapatan melebar. Koefisien Gini Indonesia pada 2023 berada di 0,388 (BPS), jauh dari cita-cita pemerataan.

Ketergantungan terhadap modal dan pasar global sangat tinggi. Nilai utang luar negeri Indonesia per Juni 2024 mencapai USD 400,9 miliar (Bank Indonesia, 2024), sebagian besar dalam mata uang asing.

Sumber daya alam strategis banyak dikuasai swasta dan asing. Misalnya, 70% produksi emas Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing (EITI Indonesia, 2023), dan banyak sektor energi masih bergantung pada investor luar negeri.

Di sisi lain, krisis keuangan global yang berulang (1997, 2008, pandemi Covid-19, dan ketidakpastian pasca 2020) memperlihatkan bahwa sistem ekonomi dunia berbasis kapitalisme dan riba sedang menghadapi tekanan struktural. Laporan Bank Dunia (2023) bahkan memperingatkan risiko “dekade pertumbuhan rendah” akibat kombinasi utang tinggi, inflasi global, dan ketidakpastian geopolitik.

Dalam kondisi ini, Pasal 33 sebenarnya dapat menjadi “pintu gerbang menuju sistem ekonomi alternatif yang berkeadilan dan diridhai Allah SWT” — sistem yang berlandaskan nilai moral, keadilan sosial, dan kedaulatan ekonomi nasional. Landasan ini bukan hanya relevan, tetapi semakin mendesak untuk dihidupkan kembali.

 

Sistem Ekonomi Modern: Megah Namun Rapuh

Selama lebih dari satu abad, dunia bertumpu pada sistem ekonomi modern berbasis kapitalisme, bunga (riba), dan uang fiat. Sistem ini pada awalnya berhasil menciptakan ekspansi industri, perdagangan global, dan pertumbuhan ekonomi pesat. Namun di balik kemegahannya, sistem ini menyimpan kerapuhan struktural yang semakin nyata.

Pertama, sistem keuangan global sangat bergantung pada utang dan penciptaan uang dari sektor perbankan. Menurut Institute of International Finance (IIF, 2023), total utang global mencapai USD 307 triliun, setara dengan 336% dari PDB dunia — level tertinggi sepanjang sejarah modern. Sebagian besar utang ini bukan untuk kegiatan produktif, melainkan untuk menambal defisit fiskal, konsumsi, dan aktivitas spekulatif.

Kedua, sistem ini ditopang oleh uang fiat (uang kertas tanpa dukungan emas atau perak), yang nilainya bergantung sepenuhnya pada kepercayaan publik dan kebijakan bank sentral. Sejak Amerika Serikat mencabut standar emas pada 1971 (Nixon Shock), bank sentral dunia mencetak uang dalam skala besar, terutama saat krisis. Fenomena ini menciptakan gelembung keuangan (financial bubbles) yang berulang dan rapuh terhadap guncangan.

Ketiga, kapitalisme modern menimbulkan ketimpangan ekstrem. Laporan Oxfam (2023) menunjukkan bahwa 1% populasi terkaya dunia menguasai hampir 2/3 kekayaan global yang tercipta sejak 2020. Ketimpangan ini bukan hanya isu moral, tetapi juga menjadi sumber instabilitas sosial dan politik.

Keempat, krisis keuangan terjadi secara siklikal dan semakin kompleks. Krisis utang Amerika Latin (1980-an), krisis Asia (1997), dot-com bubble (2000), krisis keuangan global (2008), dan guncangan pasca-pandemi menunjukkan bahwa mekanisme internal sistem ini memang memproduksi krisis secara periodik. Ekonom Didier Sornette menyebutnya sebagai “ilusi mesin uang abadi” (perpetual money machine) yang hanya bisa berjalan dengan gelembung baru untuk menutup gelembung lama.

Kelima, teori-teori sosial modern menguatkan prediksi keruntuhan jangka panjang:

Joseph Tainter (1988) menjelaskan bahwa sistem sosial yang terlalu kompleks akan mengalami “diminishing returns” dan akhirnya runtuh jika tidak ada perubahan struktural.

Ugo Bardi dkk (2018) melalui model biofisik menunjukkan bahwa sistem yang terlalu boros energi dan terlalu birokratis akan kolaps ketika beban struktural melebihi kapasitas sumber daya.

Robert Kurz (1999) menyebut kapitalisme modern sedang mengalami “kematian lambat” akibat kontradiksi internal antara produktivitas dan konsumsi.

Dengan kata lain, pondasi sistem ekonomi global saat ini rapuh secara struktural, sosial, dan ekologis. Ia bergantung pada kepercayaan buatan terhadap uang kertas, ekspansi utang yang terus-menerus, serta eksploitasi sumber daya dan manusia. Dalam jangka panjang, sistem ini tidak berkelanjutan dan akan menghadapi titik balik besar — sebagaimana telah diingatkan oleh para ilmuwan dan ekonom kritis di berbagai belahan dunia.

Al-mubasysyirāt (Kabar Gembira) : Isyarat Pergantian Sistem Ekonomi

Rasulullah ﷺ bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ:

«لَمْ يَبْقَ مِنَ النُّبُوَّةِ إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ». قَالُوا: وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ؟ قَالَ: الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ»

“Tidak ada lagi yang tersisa dari kenabian kecuali al-mubasysyirāt (kabar gembira).”

Para sahabat bertanya: “Apakah yang dimaksud dengan al-mubasysyirāt itu?”

Beliau ﷺ menjawab: “Yaitu mimpi yang baik (mimpi yang benar) yang dilihat oleh seorang Muslim atau diperlihatkan kepadanya.”

(HR. al-Bukhari no. 6990)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Mimpi yang baik merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”

(HR. al-Bukhari no. 6989, Muslim no. 4200)

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa mimpi benar (ru’yâ shâlihah) merupakan bentuk komunikasi Ilahi yang masih tersisa setelah kenabian berakhir. Dalam sejarah Islam, mimpi-mimpi semacam ini sering menjadi isyarat penting menjelang peristiwa besar, baik secara pribadi, masyarakat, maupun peradaban

Salah satu fenomena mimpi yang banyak menarik perhatian umat Islam pada masa kini adalah mimpi-mimpi Muhammad Qasim bin Abdul Karim — seorang Muslim asal Pakistan. Sejak usia muda, ia telah menerima ratusan mimpi yang konsisten, berulang, dan bertema besar tentang kondisi dunia. Banyak ulama dan peneliti Islam menilai bahwa mimpi-mimpinya tergolong mubasysyirât, karena kandungannya mengandung peringatan dan kabar besar bagi umat Islam.

Beberapa mimpi penting yang relevan dengan pergantian sistem ekonomi dan geopolitik dunia antara lain:

  1. Mimpi tentang Keruntuhan Sistem Ekonomi Dunia (sekitar 2014–2016)

Qasim bermimpi melihat dunia dilanda kekacauan keuangan global. Sistem berbasis riba dan spekulasi runtuh secara tiba-tiba, pasar dunia kolaps, dan negara-negara besar bangkrut. Dalam kekacauan itu, umat Islam dipanggil untuk membangun sistem ekonomi baru yang adil — sistem Islam yang bebas riba dan berlandaskan kejujuran.

  1. Mimpi tentang Runtuhnya Tatanan Dunia Barat (2015–2017)

Dalam beberapa mimpi, Qasim melihat kekuatan global Barat — terutama Amerika dan Eropa — mengalami krisis ekonomi dan politik besar. Ia melihat gedung-gedung megah ambruk dan simbol kekuatan global runtuh dari dalam, menandakan kehancuran sistem dunia modern yang mereka pimpin.

  1. Mimpi tentang Kemunculan Kepemimpinan Islam Adil (2014–2018)

Qasim bermimpi tentang munculnya kepemimpinan Islam yang dibimbing langsung oleh pertolongan Allah. Kepemimpinan ini menghapus riba secara total, menegakkan perdagangan jujur, membangun sistem zakat, dan ekonomi umat berbasis keadilan sosial. Sistem ini kemudian menyebar ke seluruh dunia karena keadilannya.

  1. Mimpi tentang Peran Negara Muslim Timur, termasuk Indonesia (2016–2019)

Dalam beberapa mimpi, Qasim melihat gelombang kebangkitan Islam datang dari Timur, khususnya wilayah Asia. Indonesia dan Pakistan menjadi bagian penting dalam kebangkitan tersebut. Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar dengan sumber daya alam melimpah, digambarkan memiliki peran strategis dalam mendukung sistem ekonomi Islam global pasca-runtuhnya sistem lama.

  1. Mimpi tentang Dukungan Langsung Allah SWT (berulang)

Dalam banyak mimpi, Qasim melihat Allah SWT dan Nabi Muhammad ﷺ memberikan arahan kepadanya untuk menyeru umat Islam meninggalkan riba dan bersiap menghadapi perubahan besar. Mimpi-mimpi ini menjadi peringatan dan peta jalan spiritual bagi umat Islam untuk tidak hanyut dalam sistem global yang rusak.

Mimpi-mimpi ini memberikan gambaran arah sejarah dunia dari perspektif Ilahi:

Sistem ekonomi riba global akan runtuh,

Kekuatan Barat akan melemah,

Dunia Islam akan bangkit dengan sistem ekonomi dan kepemimpinan yang diridhai Allah,

Indonesia memiliki peluang besar untuk berperan dalam kebangkitan tersebut.

Narasi ini selaras dengan kajian ilmiah dan teori ekonomi modern yang memprediksi keruntuhan sistem kapitalisme global (seperti teori Joseph Tainter, Sornette & Cauwels, dan Kurz), namun memberikan arah solusi spiritual dan moral yang tidak dimiliki oleh analisis sekuler murni.

 

Penutup: Jalan Ilahi untuk Indonesia

Indonesia memiliki dua modal besar yang jarang dimiliki negara lain:
Pertama, modal konstitusional, berupa Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan perekonomian disusun sebagai usaha bersama, kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, dan asas keadilan sosial.
Kedua, modal spiritual dan kultural, berupa mayoritas penduduk Muslim, kekayaan nilai Islam yang menolak riba dan menegakkan keadilan, serta tradisi gotong royong yang kuat.

Namun, dua modal besar ini belum dijalankan secara utuh. Perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sistem global yang rapuh, ketimpangan sosial-ekonomi masih tinggi, dan kedaulatan atas sumber daya alam belum sepenuhnya kembali ke rakyat. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan lompatan paradigma — dari sekadar “mengikuti arus sistem ekonomi dunia” menuju pembangunan sistem ekonomi sendiri yang berlandaskan konstitusi dan nilai Ilahi.

Berikut rekomendasi lengkap (strategi besar) agar Indonesia menjadi negara maju, rakyat makmur, sejahtera, dan adil:

1. Reorientasi Paradigma Ekonomi Nasional ke Pasal 33 dan Nilai Ilahi

  • Menjadikan Pasal 33 UUD 1945 dan prinsip-prinsip ekonomi Islam sebagai arah kebijakan ekonomi nasional.
  • Menolak model ekonomi liberal murni yang bertumpu pada utang, riba, dan spekulasi; menggantinya dengan sistem berbasis aset riil, produksi, dan kemaslahatan rakyat.

2. Kedaulatan Sumber Daya Alam dan Pembangunan Industri Strategis Nasional

  • Menegakkan amanat Pasal 33 ayat (3): bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
  • Menasionalisasi secara bertahap sektor-sektor strategis yang vital (energi, pangan, air, mineral).
  • Mengembangkan industri pengolahan dalam negeri, sehingga Indonesia tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga menguasai nilai tambahnya.

3. Membangun Sistem Keuangan Nasional Bebas Riba

  • Mendorong peralihan bertahap dari sistem keuangan berbasis bunga ke sistem keuangan syariah yang berbasis bagi hasil, zakat, dan aset nyata.
  • Mengembangkan Baitul Maal modern sebagai institusi distribusi keadilan sosial, yang mengelola zakat, infak, wakaf, dan sedekah secara profesional untuk pemberdayaan ekonomi rakyat.
  • Mempersiapkan cadangan emas/perak dan sistem keuangan alternatif sebagai antisipasi potensi krisis global.

4. Memperkuat Ekonomi Rakyat dan UMKM Berbasis Koperasi

  • Menghidupkan kembali koperasi sebagai sokoguru perekonomian, sesuai amanat Pasal 33 ayat (1).
  • Memberi insentif fiskal, akses pembiayaan syariah, dan dukungan teknologi kepada UMKM.
  • Membangun rantai nilai domestik yang kuat antara petani, nelayan, koperasi, dan industri kecil.

5. Pembangunan SDM Unggul, Berakhlak, dan Visioner

  • Membangun sistem pendidikan yang menyatukan ilmu modern dengan nilai Ilahi: ilmu ekonomi, teknologi, dan manajemen yang berlandaskan tauhid, amanah, dan keadilan.
  • Mencetak pemimpin-pemimpin bangsa yang berani, berintegritas, dan berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan kepentingan modal global.

6. Kemandirian Ekonomi Global & Kepemimpinan Timur

  • Membangun poros ekonomi Timur berbasis keadilan dan keberlanjutan, berkolaborasi dengan negara-negara Muslim dan Asia.
  • Menjadi pelopor model ekonomi alternatif pasca-keruntuhan sistem global, sebagaimana isyarat dalam mimpi Muhammad Qasim dan kajian collapse theory.

Akhirnya

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Kemajuan Indonesia bukan mustahil. Ia akan terwujud ketika bangsa ini berani kembali kepada jati dirinya — mengamalkan konstitusi, menggali nilai-nilai Islam, menegakkan keadilan ekonomi, dan membangun sistem mandiri yang diridhai Allah SWT.

Dengan langkah strategis ini, Indonesia bukan hanya menjadi negara maju, tetapi juga teladan dunia dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Rujukan

  • Joseph Tainter. The Collapse of Complex Societies. Cambridge University Press, 1988.
  • Didier Sornette & Peter Cauwels. The Illusion of the Perpetual Money Machine. arXiv, 2012.
  • Robert Kurz. Schwarzbuch Kapitalismus (Black Book of Capitalism). Eichborn, 1999.
  • John Gray. False Dawn: The Delusions of Global Capitalism. Granta, 1998.
  • Muhammad Qasim Dreams (Pakistan, 2012–2024).
  • Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 275–282; Al-Hasyr: 7.
  • Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Gini Ratio Indonesia 2023.
  • Bank Indonesia. (2024). Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Juni 2024.
  • Oxfam. (2017). Indonesia: 4 Super Rich Men. Oxfam Briefing Paper.
  • EITI Indonesia. (2023). Laporan Transparansi Sumber Daya Alam.
  • World Bank. (2023). Falling Long-Term Growth Prospects.
  • Institute of International Finance (IIF). (2023). Global Debt Monitor.
  • Oxfam. (2023). Survival of the Richest.
  • Didier Sornette & Peter Cauwels. (2012). The Illusion of the Perpetual Money Machine. arXiv.
  • Joseph Tainter. (1988). The Collapse of Complex Societies. Cambridge University Press.
  • Ugo Bardi et al. (2018). Toward a General Theory of Societal Collapse. arXiv.
  • Robert Kurz. (1999). Schwarzbuch Kapitalismus. Eichborn.
  • Nixon Shock (1971). Federal Reserve Historical Data.
  • Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. 6989–6990; Muslim no. 4200.
  • Muhammad Qasim Dreams Archive (2012–2024), Lahore, Pakistan.
  • Koleksi mimpi bertema ekonomi, kepemimpinan, dan akhir zaman (2014–2019).
  • QS. As-Saff: 8–9; QS. Ar-Rum: 41.
  • An-Nawawi, Syarh Muslim; Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari (penjelasan hadis 6990).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *