Oleh: Dr. dr. H. Jaya M. Munawwar Al Badri, SpKj, M.Kes, MARS
Apalah arti sebuah nama. Begitu kata William Shakespeare pujangga Britannia. Padahal sesungguhnya nama adalah identitas, doa harapan dan sesuatu yang diimpikannya.
Demikian juga nama Muhammad yang disematkan kepada kita kaum muslimin, seraya berharap anak yang baik, rezeki melimpah dan berkah dari Tuhannya sebagaimana Rasulullah ﷺ.
Di penghujung akhir masa, nama-nama Muhammad sekarang menjadi nama yang sangat disukai untuk dinamakan kepada anak keturunannya karena nama tersebut kelak akan menandakan ia menjadi pemimpin akhir zaman Al Mahdi. Sebagaimana Hadisnya:
Namanya sama (mirip) dengan namaku, dan nama bapaknya sama (mirip) dengan nama bapakku.
Kita mengenal pemimpin agama, habaib ataupun pemimpin negara di di negara-negara atau kerajaan Islam, termasuk di Kingdom of Saudi Arabia (KSA) menamakan anak-anaknya dengan Muhammad di kalangan Habaib turun temurun. Dalam tradisi keluarga KSA juga misalnya, pada generasi akhir kekuasaannya, nama-nama Muhammad tersebut lazim pada anak-anak/ putra mahkotanya yaitu: Muhammad bin Abdullah (anak Raja Abdullah bin Abdul Aziz), Muhammad bin Nayef (Putra Abdul Aziz bin al Saud), Muhammad bin Salman (putra mahkota Raja Salman).
Apakah ini adalah satu bentuk kesengajaan agar kelak mereka dianggap sebagai pemimpin yang diberkahi Tuhan, sebagai khalifah Al Mahdi?
Tentu sangat penting direnungi konsep yang sudah turun-temurun. Apalagi bila dibumbui dengan argumen cucu Rasulullah ﷺ, itrah Rasul, disertai pengakuan sebagai Al Imam Al Mahdi, dan alasan lain sebagainnya.
Nun jauh di negeri Qiblal Khurasan, ia tidak mencoba mencocokan namanya menjadi Muhammad bin Abdullah. Nama aslinya adalah Muhammad Qasim bin Abdul Karim, tentu ini perlu dicermati sebagai hal yang perlu dikaji secara mendalam, karena bukan karena gimmick dan lain sebagainya.
“Tidak tercatat” embel-embel dalam trah keluarganya (al alamah, al walid, syayyid, dll), atau tercacat di buku takhsis nasab. Yang paling fenomena adalah alam mimpinya selalu dalam pengasuhan (mahdiyin) bersama Rasulullah ﷺ. Ia tumbuh kembang bersama Rasul dalam alam ruhnya.
Ia pun tidak mempersiapkan untuk menampilkan sosok al Mahdi dengan mengganti namanya dengan Muhammad saja tanpa Qasim, berpenampilan seperti Habib, Syedz, atau simbol spiritual lainnya, situasi dan kondisi apa adanya dan keberadaanya, tanpa gimmick dan kepalsuan di hadapan manusia.
Demikian lah misteri nama yang mirip dengan nama Muhammad dan nama Ayahnya mirip juga, tidak dibuat-buat, saat kelahirannya, tidak ingin dilihat sama dengan Muhammad karena ayahnya pun bukan bernama Abdullah tapi Abdul Karim.
Secara umum ini akan mengecoh/tersembunyikan dari pemikiran manusia yang masih diliputi oleh kedengkian gelap dan cahaya kedengkian manusia biasa maupun ulama kecuali hati yang mendapat petunjuk siapapun tanpa campur tangan makhluk apapun.
Wallahu a’ lam bis sawwab
Al Faqir