Penulis: Ustadz Chairullah
Sebuah pertanyaan yang sering diutarakan oleh antropologi,
Bagaimana nasib manusia ke depan sebagai makhluk penguasa di bumi ini?
Pada tahun 1960 seorang ahli Amerika terkenal bernama John Calhoun menggunakan tikus untuk eksperimen menstimulasikan nasib manusia. Hasil eksperimen ketika itu sempat memicu kepanikan sosial.
John Calhoun menyewa gudang di peternakan, kemudian membangun kotak sepanjang 25 meter dengan tinggi 1,5 meter dan lebar 25 meter. Kemudian membagi kotak itu menjadi 16 sektor lingkaran. Setiap area ini disediakan dispenser air minum dan dispenser makanan. Kemudian membangun sarang tikus di dinding sebanyak 260 sarang tikus di tempat area ini. Setiap sarang tikus dapat menampung 15 ekor tikus dan hidup nyaman di dalamnya. Karya ini dapat menampung kurang dari 4000 ekor tikus. Selain itu juga dilengkapi dengan pendingin udara dan dilapisi sekitar kandang dengan semen untuk menghindari masuknya tikus-tikus liar dari luar dan dipastikan tidak ada musuh alami yang masuk ke area ini. Disediakan lingkungan yang baik. John ingin tahu bagaimana perkembangan kawanan tikus ini yang tidak terganggu dari kehidupan eksternal.
Setelah lingkungan percobaan siap, mereka memilih 4 tikus jantan dan 4 tikus betina di lingkungan ini. Betul-betul seperti surga yang disebut universe 25. Kehidupan ini menjadi dambaan bagi setiap insan di muka bumi karena terbebas dari rasa lapar, haus, panas, dan dipenuhi kenikmatan-kenikmatan dunia. Paling tidak, inilah gambaran surga manusia di bumi yang mereka gambarkan melalui penelitian yang menggunakan tikus sebagai eksperimen.
Lantas bagaimana hal itu seandainya dimiliki oleh seluruh manusia di jagad dunia ini? Bagaimana seandainya manusia tidak perlu khawatir lagi tentang masalah makanan, tempat tinggal, pekerjaan dan lain sebagainya? Sebab semua kebutuhan hidup telah tersedia kapan saja. Bagaimana seandainya tidak ada lagi para jomblo-jomblo? Sebab kenikmatan dunia bisa dinikmati dengan sepuasnya kapan saja dengan siapa saja tanpa ada batas aturan bebas. Lalu hierarki sosial seperti apa yang akan terbentuk? Lingkungan apakah yang akan tercipta?Dan apakah menciptakan surga dunia itu adalah tujuan terbaik bagi manusia?
Untuk memahami dari pertanyaan itu, para peneliti ilmiah dengan sangat lancang menyentuh ranah Tuhan ini. Dengan melakukan eksperimen membuat surga, sebuah eksperimen yang dikenal dengan eksperimen universe 25. Percobaan ini pada tahun 1968, dia menyebut eksperimen ini adalah negeri Utopia. Maka dia menciptakan surga bagi makhluk berintelektual rendah.
Jika surga ini diberikan kepada makhluk itu, maka apa yang akan terjadi? John Calhoun yang penasaran pada perilaku hewan itu mulai membangun gedung-gedung yang dipenuhi makanan dan air yang melimpah bagi kawanan tikus. Pada tikus-tikus itu juga disterilkan sehingga bebas dari kuman. Segala yang mereka butuhkan disediakan dalam ruangan itu. Hidup menjadi sangat indah, nyaman sehingga tikus-tikus itu hidup seperti surga, tidak perlu susah payah memenuhi keperluan hidupnya. Maka mereka hanya melakukan kegiatan yang menyenangkan yakni kawin. Mereka kawin, kawin dan kawin dan berkembang biak dengan sepuas-puasnya. Ini benar-benar surga bagi kawanan tikus.
Namun semua mulai goyah ketika para tikus lupa diri. Jumlah mereka berkembang dua kali lipat setiap 2 bulan dan sesuai hukum extendensial populasi mereka meningkat drastis dalam beberapa bulan. Selanjutnya John Calhoun dalam 250 hari, 111 tikus lahir di lebih banyak wilayah dan hanya 13 tikus lahir di wilayah kecil. Artinya di dunia tikus ini telah tercipta keluarga besar tikus dan keluarga kecil tikus.
Tikus-tikus ini pada dasarnya tidak kekurangan apapun dan hanya satu yang mereka tidak bisa penuhi adalah masalah ruang yang semakin menyempit. Karena sebagaimana halnya seperti manusia. Tidak peduli sekali apapun seseorang, area tanah di bumi ini tidak akan pernah berubah menjadi lebih luas apabila telah mencapai over populasi. Begitupun halnya dengan kawanan tikus ini. Surga bagi mereka di dunia ini akan tetap ada tapi urusan populasi dan ruang juga menjadi masalah mereka setelah hari ke-315 maka per populasi pun mulai terjadi dan ruang lingkup semakin kecil.
Para pejantan yang awalnya menjadi pemimpin mulai kehilangan otoritasnya karena ketiadaan wilayah kekuasaan. Semua tikus memahami bahwa mereka mempunyai hak pada tempat tersebut hingga para tikus pun memutuskan tidak perlu lagi otoritas pemimpin. Semua wilayah adalah milik bersama. Pada akhirnya, aturan yang membimbing tikus secara sosial mulai runtuh. Mereka menjadi makhluk yang egois yang hanya peduli pada diri masing-masing. Hal ini membuat tikus tidak percaya pada sesama mereka.
Biasanya tikus beraksi dengan sendiri-sendiri, makan di sana sendirian. Tetapi setelah laju peningkatan tikus mulai melambat, tikus-tikus itu mulai beraksi secara kelompok-kelompok. Mereka tidak sendiri lagi mencari makan. Harus secara kelompok-kelompok dan juga makan bersama kawanannya. Bahkan menunjukkan ketakutan bertindak sendiri.
Menurut John Calhoun, timbulnya kondisi ini karena mereka memiliki hasrat sosial yang ekstrem. Artinya meski berada di lingkungan yang tersedia, orang-orang akan memiliki keinginan yang besar untuk bersosialisasi. Delapan bulan kemudian yaitu ketika percobaan dilakukan, sekitar satu setengah tahun jumlah tikus sudah mencapai maksimum 2200 ekor. Sejak itu jumlah tikus mulai menurun dengan kata lain jumlah tikus yang lahir tidak sebanyak jumlah tikus yang mati. Universe 25 ini cukup untuk menampung 4000 ekor tapi setengah jalan, jumlah tikus mulai menurun tajam. Hampir setiap hari semua tikus berdiri di tengah menunggu makan dan mulai menyerang satu sama lainnya saat semuanya kacau. Mereka yang mempunyai otoritas hidupnya nyaman tidak terikat pada kekerasan otoritas. Yang dimaksud di sini adalah mereka yang membuat kastanisasi sendiri dan kekuasaan. John Calhoun menyebut alasan tikus-tikus ini berubah dari yang hidup bahagia hingga hidup saling bunuh-membunuh berkaitan dengan kepadatan populasi. Jika kelaparan tidak membunuh populasi, mereka akan membunuh kaumnya satu sama lain. Meski makanan dan minuman tersedia, tetapi mereka tetap saling menyerang satu sama lain. Ini disebut dengan istilah behaviolessing.
Ini adalah istilah yang ditemukan oleh John Calhoun untuk menggambarkan keruntuhan perilaku yang diakibatkan oleh kepadatan penduduk. Jika ini terjadi kepada manusia maka orang-orang tidak dapat mengontrol lagi ruang lingkup sosial dan jiwa. Jika kontrol ini tidak terjadi maka behaviolessing akan terjadi. Jadi jarak sosial sangatlah penting sehingga masalah jarak sosial di masa lalu lebih cenderung merebak di kota-kota besar yang lebih padat penduduknya.
Sebuah negara dengan kehidupan yang sangat baik umumnya memiliki populasi yang relatif jarang. Negara-negara dengan kepadatan penduduk yang tinggi umumnya tidak begitu kaya. Jadi, kondisi ini belum menyatu. Contohnya adalah negara Jepang. Tingkat kelahiran di Jepang sangat rendah. Setiap orang tidak memiliki keinginan untuk bekerja. Hidup terlalu nyaman. Surga sudah ada dan kepadatan penduduk juga tinggi artinya sudah ada tanda-tanda behaviolessing.
Dua tahun setelah percobaan ini dilakukan, tikus terakhir dilahirkan dan sejak itu populasi tikus musnah. Universe 25 merdu hingga akhirnya padam atau musnah total. Ini akibat kelakuan mereka sendiri. Eksperimen ini tidak dilakukan hanya sekali tapi dilakukan sebanyak 25 kali dari percobaan pertama hingga terakhir. Semua hasilnya berakhir pada satu kesimpulan yang sama yaitu kemusnahan total tanpa ampun.
Surga dunia itu rupanya telah berubah menjadi ladang neraka. Negeri Utopia itu telah menjelma menjadi wadah paling mengerikan bagi tikus manapun yang hidup di muka bumi. Karena hanya yang paling kuat dan paling egois yang akan tetap bertahan hidup. Tikus-tikus yang lemah dan dianggap jelek mulai membentuk kelompok-kelompok sendiri. Kawanan tikus yang gagah dan cantik-cantik pun juga mulai membentuk kawanan mereka sendiri. Segala serangan tanpa tujuan menjadi marak terjadi di dalam surga tersebut. Tikus-tikus bisa saling serang apabila merasa tidak suka pada tikus lainnya dan hal ini terus terjadi sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Baik yang tampan, cantik, ataupun jelek, mereka saling bermusuhan tanpa sebab yang jelas.
Untuk tikus-tikus yang sebelumnya berkeluarga, para pejantan menjadi terlalu bebas sehingga tidak peduli pada betina yang mereka sudah kawin. Betina-betina yang lemah dan tanpa dukungan terpaksa mengalah dan menerima nasib mereka dipakai dan dipakai berulang-ulang kali. Penyiksaan demi penyiksaan pun terjadi dan terfokus pada tikus-tikus yang lemah dan tidak memiliki kelompok kuat, mereka disudutkan, didiskriminasi dan disakiti.
Hal ini membuat kawanan betina menjadi stress. Mereka sadar tidak bisa melawan yang kuat. Maka target mereka beralih kepada kelompok anak-anak mereka sendiri. Kebencian mereka kepada ketidakadilan terlampiaskan kepada anak-anak yang tidak berdosa itu. Mereka menyiksanya. Hal inilah yang dapat menurunkan tingkat populasi tikus itu secara menyeluruh. Kawanan tikus betina yang menyadari keadaan ini, akhirnya mulai banyak menyendiri. Mereka terlihat sering merenung di sudut-sudut gedung sendirian seakan ingin mengakhiri hidup mereka. Agresivitas mereka meningkat dan menjauhi kelompok manapun. Mereka semakin tidak percaya pada pejantan dan menolak keras untuk dikawini. Mereka memilih single abadi.
Tak lama kemudian muncullah generasi tikus-tikus jantan yang cantik selayaknya para betina. Dari sanalah muncul ketimpangan moral bagi para tikus yang seharusnya tidak terjadi. Mereka mulai berhubungan dengan sesama jenisnya sendiri demi memenuhi hasrat yang mulai tidak terkendali antar satu dengan yang lainnya. Meskipun ketersediaan makanan untuk kawanan tikus tetap terpenuhi mereka mengalihkan hasrat kekerasan mereka pada seksualitas. Dan yang lebih parah lagi mereka membawa satu kebiasaan yakni kanibalisme. Akibat banyaknya tingkat kematian dari hari ke hari maka tak heran timbul hasrat untuk mencicipi daging sesamanya sendiri. Mereka mulai penasaran pada daging kawannya sendiri dan akhirnya membentuk golongan kanibalisme mereka.
Praktek LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) meningkat dan menurunkan populasi secara drastis. Keganasan para tikus tetap tidak berkurang. Lingkungan menjadi tidak aman. Siapapun yang kuat secara fisik semakin berjaya dan yang lemah tinggal menunggu ajalnya saja. Surga dunia itu rupanya telah menjadi ladang neraka. Jika penulis menjabarkan terkait kehidupan kita, jawabannya mungkin terletak pada tujuan yang dihilangkan dari hidup tikus-tikus itu. Ini tujuan yang menjadi pedoman kehidupan mereka hilang sepenuhnya hingga banyak tikus-tikus yang tidak tahu harus berbuat apa dalam kehidupannya. Itu akhirnya memilih menjadi tidak terkontrol. Tujuan itu pun menghilang. Mereka telah kehilangan makna dari hidupnya sendiri. Mereka hidup hanya untuk makan, tidur, dan kawin dan seterusnya, seperti itu tanpa akhir. Dengan diiringi wilayah kebebasan yang semakin berkurang karena diambil alih oleh pihak lain. Akhirnya ketidakadilan itu adalah pemicunya.
Banyak dari kita hingga saat ini merasakan hidup dalam kekangan atau belenggu yang menyulitkan. Sampai kita lupa bawa keberadaan kekangan ini justru menciptakan tujuan dalam hidup ini. Jadi tidak ada salahnya kita mengambil pelajaran jadi universe 25 ini. Kita sangat beruntung terlahir sebagai manusia. Kita memiliki kecerdasan yang kompleks sehingga menciptakan tatanan hidup yang harmonis antara satu individu dengan individu lainnya. Namun kehidupan kita akan berubah menjadi universe 25 seperti eksperimen ini jika kita menghilangkan norma-norma agama hidup bebas tanpa aturan. Kenyataannya, manusia akan mengalami kemunduran moral seperti yang dialami dengan universe 25. Perilaku LGBT semakin dianggap wajar. Kelompok feminis garis keras yang semakin menolak keberadaan pria, maraknya kekerasan pada wanita, adanya diskriminasi kebencian tanpa sebab, meningkatnya hubungan seks bebas kaum-kaum liberal, menolak aturan-aturan agama makhluk bernama tikus saja yang kehilangan aturan dan pedoman hidup berakhir pada kemusnahan total tanpa ampun. Apalagi terhadap manusia. Walaupun di dunia ini dipenuhi oleh kesejahteraan dan kemakmuran sebagaimana pada eksperimen universitas 25 yang pada kesimpulannya berakhir kepada kemusnahan total tanpa ampun.
Sekali lagi mari kita cermati kehidupan manusia saat ini. LGBT sudah merebak, kesenjangan sosial dan politik. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri dan golongannya. Kaum agamis pun yang seharusnya menjadi contoh terbaik bagi manusia telah menjadikan agama sebagai sarana dan dalil untuk mencari kehidupan dunia serta saling membenci karena perbedaan golongan dan paham dan perang saudara telah ada di depan mata kita, lalu sampai kapan ini akan terus terjadi? Apakah kita hanya menunggu kemusnahan total dari peradaban kita sebagai manusia? Jawabnya kembali kepada sumber dalil nubuwwah karena akan hadirnya Imam Mahdi pada akhir zaman yang akan menegakkan keadilan dengan menghancurkan kebatilan dan membuat peradaban kehidupan islami sebagaimana di zaman Nabi ﷺ.
Semua orang pada saat itu merasa bahagia bahkan hewan-hewan pun merasakan keberkahan di zaman tersebut. Lalu timbul pertanyaan kapankah Imam Mahdi akan hadir di muka bumi?
Jika kita meneliti tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad ﷺ tentang akhir zaman, maka dapat diambil kesimpulan. Sekaranglah waktu dekat akan hadirnya Al Mahdi.
Wallahu a’lam bissawab.